Kota, kita, dan harapan
Kita
Entah siapa yang dimaksud “kita” saya dan bayangan diri sendiri atau dengan manusia lain yang saya jumpai di kota ini.
Malam itu sekitar pukul 21.30 WIB hari berjalan seperti biasa, mengisi kekosongan dengan aplikasi kencan lagi dan lagi. Menjadi lumrah saya gunakan sejak tahun 2018. Entah untuk dan mencari apa? Begitu juga untuk Anda ya? Hehe…
Kiranya sudah satu, dua, atau lebih dari lima yang berhasil? Biar saya tebak. Tapi maaf saya bukan seorang yang cenayang, jadi jawab sendiri saja, ya.
Kita semua tau betapa riuhnya kota ini, tapi kenapa selalu ada ruang hampa yang tersisa di setiap individu yang dipenuhi oleh ambisi. Setiap hari yang dilaluinya hanya untuk terus mencari. Entah apa yang sebenernya sedang dicari.
Sabtu malam bulan kesembilan tahun 2019, di jalan Sabang. Kedai kopi itu, menjadi saksi bisu pertemuan pertama dengan pria yang tingginya sekitar 170cm. Entah sihir apa yang digunakannya, gadis yang sedang mencari-cari siapa dirinya, langsung mengagumi sosoknya.
Mungkin cara pandangnya untuk bertahan hidup di Ibu Kota, atau dengan prinsip kehidupan yang ia pegang. Entahlah, apapun itu. Harusnya sang gadis bisa belajar banyak hal dari perjumpaan tersebut.
Sebagai catatan dia bukan orang pertama yang ia jumpai dari aplikasi kencan. Namun baru pertama baginya merasakan pengalaman yang selama ini dianggapnya tabu.
Sembari mengingat, perasaan yang diingat hanya amarah yang hinggap. Bagaimana tidak, terpampang dokumentasi hari bahagianya hanya selang seminggu dari pertemuan terakhirnya dengan gadis itu.
Namun naas, sepertinya bahteranya sudah kandas.
Lagipula apa haknya, batin gadis yang masih saja mencari kesempatan menulis namanya di pencarian akun sosial media, hanya untuk sakadar memantau aktivitas terbarunya.
Apakah laki-laki itu melakukan solo traveling lagi keliling Asia Tenggara, atau ada kabar baru lainnya yang bisa ia dapatkan? Sudahlah.
Kita dan Jakarta
Kita sudah menjadi bagian dari kota ini, mesikpun hanya 0,01% saja sudut Ibu Kota yang kiranya sudah memberikan kenangannya. Entah untuk urusan hati atau isi perut.
Kita dipertemukan di Jakarta, kota yang akhir-akhir ini dinobatkan dengan udara terburuk. Ahh benar-benar lengkap untuk hari-hari yang kita habiskan di jalan dan menerjang kerumunan kendaraan bermotor hanya untuk tetap bertahan di kota yang terlampau gaduh ini.
Bangku taman yang berlokasi di Menteng, mungkin menjadi bagian dari awal cerita yang tidak kunjung usai untuk diceritakan bagaimana rasanya diperlakukan layaknya “ratu” semalam. Sederhana, namun hangat dengan iringan lagu-lagu The Beatles dari pengamen yang dibayar Rp 5.000,- dan sebatang rokok. Baru-baru ini saya sadari ternyata begitu seharusnya feminine energy bekerja.
Belum terlambat, walau rasanya tidak nyaman menyadari hal tersebut. Bukankah hal itu adalah proses bertumbuh? Saya cukup optimis.
(Kita) dan (Jakarta)
Suasana dalam bus transjakarta rute Blok M — Kota sangat akrab bagi muda-mudi yang sudah bingung menentukan destinasi hiburan dan mencari tempat bercakap-cakap di penjuru Jakarta.
3 dari 5 setuju, lokasi tersebut dengan segala pilihan coffee shop atau restauran legendaris lainnya siap menyambut kita untuk mengukir kenangan di sana. Mungkin huruf M dalam Blok M, adalah “Mengenang”.
Lain waktu akan saya ceritakan sedikit wisata kuliner di sana beserta dengan sedikit bumbu-bumbu drama kehidupan.
Saya pikir kata kita selalu hal tetang saya dan yang ada di luar diri saya. Tetapi tenyata “kita” yang saya baru pahami adalah saya dengan diri saya sendiri yang ada di dalam.
Mungkin butuh lima atau lebih pertemuan dengan lain orang lagi atau sudah cukup (?) dan saatnya mengalokasikan waktu untuk lebih dalam memahami diri.
Kita dan Jakarta, saya pikir bisa terikat namun nyatanya hanya anagram jarak dari kata Jakarta.
Tulisan ini merupakan trilogi dari Romansa Jakarta, bagian Kita