Kota, kita, dan harapan
Kota
Riuh mesin kendaraan dan alunan klakson yang terdengar setiap berangkat dan pulang kerja, saya perhatikan seperti yel-yel bagi pengguna jalan dengan pesan; untuk lebih tabah dan lapang dalam berpetualang setiap harinya di kota Jakarta.
Saya sering bertanya-tanya di atas motor yang pada tahun 2024 sudah menemani selama satu dekade ini. Panggil dia “Beaty” dibeli kredit oleh orang tua saya.
Inti pertanyaan besar saya, “kok bisa ya, banyak orang yang bertahan di kota ini” bagaimana tingginya “tekanan sosial” gedung-gedung pencakar langit yang mempertunjukkan kemewahannya melalui lampu LED warna-warni atau Video Tron 3D dengan tayangan iklan dari brand kapitalis.
Kiranya itu yang juga disampaikan oleh Lomba Sihir melalui Hati dan Paru-Paru. Lagu yang pertama kali saya dengar 30 menit sebelum waktu pulang. Liriknya sangat Jakarta sentris, tapi cukup merangkum garis besar kondisi Ibu Kota “middle class”.
Sebagai manusia yang lahir, dibesarkan, dan tinggal di kota ini, sudah seharusnya saya merasa beruntung bisa menikmati berbagai “privilege” yang ada di Ibu Kota Jakarta. Jujur, saya tidak punya pengalaman tinggal di kota lain. Seperti apa memangnya?
Pernah sekali dua kali terlintas, gimana sih rasanya merantau? Ucap wanita yang baru merasakan jalan-jalan 4 hari 3 malam di Yogyakarta kala itu di akhir tahun 2019. Hari selanjutnya sampai tulisan ini dibuat, saya belum pernah beranjak pergi lebih dari 70km dari sekitaran Jakarta. Memangnya ada keperluan apa?
Hirup pikuk Ibu Kota dengan segala macam pernak perniknya, akan selalu terisi oleh berbagai cerita dan perjuangannya. Entah sudah seperti apa sesaknya tempat ini, akan selalu ada celah untuk tetap bertahan di sini.
Meskipun berbagai issue tentang kota ini sangat mengancam jiwa dan raga, namun tetap menjadi primadona untuk melabuhkan segala mimpi dan cita oleh sebagian orang.
Selama pelabuhan, bandara, stasiun, terminal, terus menjadi gerbang keluar dan masuk harapan kota ini, tentunya akan terus menjadi pilihan utama pintu rejeki. Betapapun buruknya kondisi di Jakarta.
Kota ini, tempat ini, tanah yang saat ini saya injak dan lewati sehari-hari agar tetap menyambung kehidupan, semoga terus ramai dengan kehidupan di sepanjang jalan. Bisik-bisik terdengar keluhan sopir truk, atau sirine ambulans, apapun itu.
Riuhnya akan selalu dirindukan
Sepinya hanya menjadi khayalan
Tulisan ini merupakan trilogi dari Romansa Jakarta, bagian Kota